Menurut Boyle (1985: 6) organisasi
internasional adalah produk dari hukum internasional. Ini adalah sebuah bentuk
anologi dari level domestik yang mana menjadikan hukum sebagai keyakinan order
dan tingkah laku bertanggung jawab dari komunitas nasional. Maka hukum
internasional adalah sebuah kode desain tingkah laku yang dianut sebaik mungkin
dalam sebuah sistem internasional yang relatif anarki. Untuk itu dalam jurnal
ini akan dibicarakan mengenai sejarah hukum internasional dan bagaimana
organisasi internasional terbentuk pada akhirnya.
Mungkin secara historikal prototype
awal dari organisasi internasional adalah Delian League–sebuah
bentukan city-states Yunani yang didominasi Athena dengan tujuan
memfasilitasi kerjasama militer melawan musuh bersama di abad 5-4 sebelum
Masehi. Bentukan awal lainnya adalah Hanseatic League–sebuah asosiasi
perdagangan di Jerman Utara pada abad 11-17 (Jacobson 1979: 7). Namun
sebelumnya muncul organisasi internasional, Christian Roman Empire,
hingga abad akhir abad pertengahan.
Dengan mengingkatnya negara
berteritori setelah Westphalia 1648, Gereja sebagai organisasi internasional
terhapuskan. Namun setelah keruntuhan kerjaan Roma, hukum Roma masih masih
bertahan kendati telah kehilangan koneksinya dengan otoritas terkini dan kemudian
menjadi sistem aturan yang ideal. Hukum Roma mengatur hubungan antarpangeran
dan juga hubungan internasional. Bagi kerajaan Roma, negara tidak memiliki common
superior dan prinsip legalnya adalah untuk melayani sebagai tindakan
standar tertinggi, memerintah,dan relasi mutual. Standar ini tidak hanya
terlihat sebagai aturan moral tetapi juga aturan legal yang mana membuat dunia
tampak sebagai komunitas legal ketimbang organisasi sentral lintas dunia.
Pada abad ke 17 pemikir Belanda,
Hugo Grotius, berpendapat bahwa law of nature mengikat seluruh umat
manusia. Hukum internasional tidak semata-mata meregulasi hubungan antarnegara,
ia merupakan hukum universal, hukum dari komunitas umat manusia, termasuk di
dalamnya segala macam sesuatu yang beralasan, semua anggota dari ras manusia
(Schiffer 1954: 16). Kemudian pemikiran Grotius ini diteruskan oleh pemikir
Belanda kontemporer, Samuel Pufendorf, yang meletakkan dasar yang penting bagi
organisasi internasional modern. Ia menyatakan negara sebagai perseorangan
dengan intelejen dan keinginan, melakukan aksi-aksi yang tidak biasa pada
dirinya sendiri dan terpisah dari individual lainnya (Pufendorf 1935 [1672]:
983). Ungkapan tersebut melegalkan negara bagi kedaulatannya dan bagi komunitas
global mereka. State of nature atau lingkungan internasional adalah state
of natural liberty di mana self-love sejalan dengan kehidupan sosial
dan kewajiban dan di mana kedamaian adalah kondisi alami umat
manusia–berkebalikan dengan pemikir Inggris Hobbes yang mengatakan bahwa perang
adalah kondisi alami manusia dan bahwa hidup itu soliter, menyedihkan,
menjijikkan, miskin, dan begitu singkat (Hobbes 1651).
Abad berikutnya setelah tulisan
Grotius dan Pufendorf, Michael Wolff menciptakan sebuah ide yang baru, global
citizenry. Sebagaimana Pufendorf, Wolff melihat negara-negara sebagai
perseorangan yang bebas dan equal yang hidup berdampingan dalam state
of nature, mereka diatur oleh natural law. Negara-negara tersebut
tidak memiliki hak dan juga kewajiban. Dalam pemikiran Pufendorf, Wolff
menemukan adanya kemerdekaan negara dari inteferensi luar dan hak mereka untuk
tidak pula menginterferensi.
Langkah Wolff diikuti oleh Emerich
de Vattel, hanya saja ia tidak setuju dengan beberapa konsepnya. Vattel tidak
setuju dengan konsep pemerintahan dunia. Apa yang membedakannya adalah karena
ia lebih humanitarian, kosmopolitan, dan juga lebih demokratis. Ia menolak ide
kerajaan berdasar kepemilikan monarki dan kedaulatan populer teradvokasi. Ia
juga berbeda pendapat mengenai nature. Menurutnya apa yang disebut nature
adalah kondisi aktual ketimbang idealnya. Ia sepakat dengan Hobbes bahwa state
of nature adalah bahwa manusia dalam isolasi presocial, masing-masing
bergantung pada diri sendiri untuk bertahan (Stone 1954: 16). Kemudian pada
tahun 1789 seorang pemikir Belanda, Jeremy Bentham, meneruskan pemikiran Vattel
dan mencetuskan term hukum internasional pada masa Revolusi Prancis.
Bentham berasumsi bahwa hukum internasional adalah mengenai hak dan obligasi
negara, bukan individual. Ia memahami bahwa perselisihan antarbangsa mengenai
hak akan terus meningkat di bawah hukum internasional. Solusi yang ia berikan
adalah sebuah common court of adjudicature untuk mengatasi perselisihan
(Bentham 1843: 535).
Setelah Kongres Vienna, setelah PD
I, Lassa Oppenheim menulis bahwa dengan Final Act dari Kongres Vienna,
aktivitas kuasi-legislatif konvensi internasional telah mengkalim diri sendiri
untuk pertama kalinya bahwa adanya representatif bagi semua orang (Oppenheim
1921: 4). Hasilnya semua kedaulatan negara dan legal equality adalah
aturan bahwa tidak sebuah negara pun, sekecil apapun, dapat terikat oleh
aturan yang tidak tersetujui oleh mereka sendiri. Pemikiran Oppenheim ini
kemudian diujikan dalam pembentukan Liga Bangsa-bangsa dan mengalami kegagalan
karena terdapat beberapa kontradiksi. Seperti yang diungkapkan oleh Pufendorf
bahwa tidak ada gunanya menuliskan perjanjian antarnegara jika masing-masing
negara tidak menyetujuinya. Patut diketahui bahwa memaksudkan organisasi
internasional tanpa fungsi eksekutif, namun hanya legislatif dan administrasi
keadilan (Schiffer 1954: 169).
Mungkin contoh terbaik dari evolusi
dalam mengatur global common adalah perubahan iklim. Pada Desember 1997,
lebih dari 160 bangsa bertemu di Kyoto Jepang mengenai perubahan iklim dan
menghasilkan Kyoto Prootokol yang mana negara-negara industri setuju untuk
mengurangi level emisi gas rumah kacanya dari tahun 1990.
Analisis
Beberapa perkembangan mayor telah
terjadi dalam hukum internasional dan juga organisasi telah menciptakan situasi
yang unik. Pertama, globalisasi dipertanyakan dan isu-isu low seperti
AIDS, terorisme, lingkungan, perdangangan, finansial, dan migrasi menjadi
relatif lebih dipentingkan dari tahun-tahun sebelumnya yang lebih mengutamakan
masalah sekuriti.
Kedua, di pertengahan abad 20,
institusi seperti PBB dan Uni Eropa mendapatkan legal personhood. Kini
banyak organisasi internasional bertindak sebagai tubuh kuasi-legislatif hukum
internasional. Ketiga, dalam konteks legal tertentu, individual kini mendapatkan
legal standing pula di bawah hukum internasional. Tiga faktor inilah
yang kemudia memperkuat kehadiran hukum internasional dan juga organisasi
internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar